Makalah
NanoMaterial
|
2017
1. PENDAHULUAN
Nanomaterial adalah suatu materi yang uku-rannya
berada pada kisaran 1-100 nanometer (nm). Materi ini dapat dalam bentuk kristal
yang atom-atomnya tersusun secara teratur maupun dalam bentuk non –kristal.
Ditemukan bahwa perilaku materi yang berukuran nano-meter sangat berbeda
dibanding dengan perilaku pada ukuran yang lebih besar (bulk). Perbedaan yang sangat dramatis terjadi pada sifat fisika, kimia
dan sifat biologinya. Perbedaan yang terjadi memberikan manfaat yang sangat
besar sehingga membawa material berukuran nanometer sebagai material unggul
pada berbagai bidang terapan, termasuk biologi dan farmasi.
Yang paling menarik lagi adalah sejumlah sifat-sifat
yang dimilikinya dapat diubah-ubah secara signifikan melalui pengontrolan
ukuran pada orde nanometer tersebut, pengaturan komposisi kimia, modifikasi
permukaan, dan pengontrolan interaksi antar-partikelnya. Sifat-sifat yang
bergan- tung pada ukuran ini dipercaya sebagai hasil dari tingginya rasio luas
permukaan terhadap volume material.
Beberapa tahun terakhir penelitian terhadap
nanomaterial menjadi intensif dilakukan di berba-gai negara, baik menyangkut
metode sintesanya maupun sifat-sifat yang dihasilkannya. Pada bi-dang energi,
nanomaterial dilibatkan untuk meng-hasilkan sel surya yang lebih efesien. Pada
bidang kesehatan, obat-obatan dikembangkan mengguna-kan nanomaterial sehingga
lebih cepat larut dan bereaksi untuk menghasilkan apa yang disebut dengan obat
pintar (smart drug) yang dapat
men-cari sel-sel tumor secara presisi dan mematikannya tanpa mengganggu sel-sel
sehat tetangganya
2. Proses Sintesa
Proses
sintesa nanomaterial dapat dilakukan secara top
down maupun secara bottom up.
Secara top down, material yang
beru-kuran besar digiling (grinding)
sampai ukurannya berorde nanometer. Alat penggiling paling
populer adalah ball mill. Di samping
itu dilakukan dengan cara evaporasi. Material berukuran besar dipa-naskan
sampai pada temperatur uapnya sehingga terevaporasi menghasilkan
partikel-partikel beru-kuran nanometer. Nanomaterial yang dihasilkan pada kedua
cara di atas distabilisasi dengan meng-gunakan larutan kimia seperti polyvinyl alcohol (PVA) atau polyethilene glycol (PEG) sehingga
membentuk nanokoloid yang stabil. Sayangnya, cara evaporasi berbiaya tinggi
karena mengguna-kan peralatan yang mahal.
Secara bottom
up sintesa nanomaterial dilakukan dengan mereaksikan berbagai larutan kimia
dengan langkah-langkah tertentu yang spesifik sehingga terjadi suatu proses
nukleasi yang meng-hasilkan nukleus-nukleus sebagai kandidat nanpartikel
setelah melalui proses pertumbuhan. Laju pertumbuhan nukleus dikendalikan
sehingga menghasilkan nanopartikel dengan distribusi uku-ran yang relatif
homogen.
Logam koloid (nanomaterial logam
dalam bentuk koloid) telah berhasil disintesa secara top down maupun secara bottom up. Secara bottom up, paduan logam
organik (metalorganic) sering nakan.
Paduan logam organik didekomposisi (direduksi) secara terkontrol sehingga
ikatan logam dan ligannya terpisah. Ion-ion logam hasil posisi bernukleasi
membentuk nukleus-nukleus yang stabil, yang dibangkitkan baik dengan
meng-gunakan katalis maupun melalui proses tumbukan. Selanjutnya
nukleus-nukleus stabil tersebut ber-tumbuh membentuk nanopartikel. Secara
skematis proses ini ditunjukkan pada gambar 1.Untuk menghindari proses
aglomerasi antara
nanopartikel-nanopartikel yang ada, lang-kah stabilisasi dilakukan dengan
menggunakan larutan separator.
Nanomaterial memiliki potensi yang sangat besar untuk diterapkan pada bidang biologi dan farmasi. Beberapa diantaranya telah dicoba dan diinvestigasi. Mengacu pada karakteristik yang dimilikinya, beberapa jenis nanomaterial telah digunakan pada teknologi pelabelan sel, penghantaran obat (drug delivery), perusakan sel tumor dengan pemanasan (hyperthermia), dan penjelas citra magnetic resonance imag-ing (MRI) . Pengembangan dan jenis terapan na-nomaterial akan terus bertumbuh mengingat ukuran bagian-bagian dari sel sebagai unit kehidupan berada dalam orde nanometer. Protein memiliki ukuran sekitar 5 nm, DNA, yang memiliki struktur heliks, memiliki diameter sekitar 2 nm, dan masih banyak lagi bagian organ tubuh yang memiliki ukuran dalam orde nanometer. Nanomaterial me-miliki kesetaraan ukuran dengan banyak bagian dalam organ tubuh.
Gambar 2.
Potret transmission
electron microscopy (TEM)
batangan nanomaterial Eu (A) dan Tb (B) yang disintesa oleh Patra et al.
4. NANOMATERIAL
DAN SEL KANKER: PENGHANTARAN OBAT (DRUG
DELI-VERY)
Saat ini tindakan yang dapat dilakukan terhadap penderita kanker
hanyalah memperpanjang umur penderita, tetapi tidak untuk menyembuhkan. Suatu
usaha harus dilakukan untuk menemukan suatu cara sehingga tidakan berubah ke
arah pe-nyembuhan. Di berbagai negara melalui lembaga penelitian yang dimiliki
saat ini sedang bekerja keras untuk hal tersebut.
Kemoterapi (terapi kimia, yaitu: memasukkan zat-zat kimia atau
obat-obatan ke dalam tubuh baik secara oral maupun nonoral dalam kurun waktu
tertentu untuk membunuh sel-sel kanker) yang saat ini kita kenal sebagai
tindakan yang dilakukan ter-hadap penderita kanker menjadi jalan terakhir
(se-lain tindakan pembedahan) yang dilakukan oleh para praktisi kesehatan dalam
melakukan tindakan terhadap pasien penderita kanker. Sayangnya, sasaran tuju
obatan-obatan kemoterapi belum dapat secara spesifik dikendalikan menuju
sel-sel yang terserang kanker. Sel-sel sehat di dalam tubuh ser-ing menjadi
korban serangan obat-obatan kemoterapi yang sangat beracun
karena juga dimasuki oleh zat-zat kimia tersebut. Oleh karena itu, efek samping
kemoterapi tidak dapat dihindarkan dan bahkan menjadi masalah tambahan yang
muncul pada penderita, dan sering menjadi penyebab uta-ma kematian.
Ketidak-spesifikan
sasaran kemoterapi me-nyebabkan para praktisi kesehatan sulit untuk me-naikkan
dosis obat-obatan pada pelaksanaan kemoterapi, yang akhirnya tidak dapat
menyelesai-kan atau membunuh sel-sel kanker pada tubuh si penderita.
Obatan-obatan yang digunakan belum dapat secara selektif menyasar jenis sel
atau jenis organ tertentu yang spesifik di dalam tubuh. Idealnya, obatan-obatan
tersebut (karena sifatnya yang sangat beracun) hanya menyasar pada
target-target sel atau organ-organ tertentu yang terserang kank-er untuk
menghindari penyerangan terhadap sel-sel sehat yang ada.
4.1 CARBON NANO TUBE (CNT)
Carbon
nano tube (CNT) adalah suatu material yang disusun oleh atom-atom carbon yang
saling berikatan, dimana satu atom carbon berikatan den-gan tiga atom carbon
yang lain. Rangkaian ikatan tersebut membentuk suatu tabung (tube) silinder yang jari-jarinya dalam
orde nanometer (gambar 3). CNT dapat ditumbuhkan membentuk tabung silinder
tunggal (single wall carbon nano tube,
SWCNT) dan tabung silinder ganda (multi wall
carbon nano tube, MWCNT).
(a) (b)
Gambar 3.
Struktur
supramolekul carbon: carbon nano tube
(CNT). (a) tabung silinder tunggal carbon (single
wall carbon nano tube, SWCNT) dan (b) tabung silinder ganda carbon
(multi wall carbon nano tube, MWCNT).
4.1.1 Sifat Termal
CNT merupakan konduktor panas yang sangat baik
dibanding dengan material lain yang pernah kita kenal. SWCNT yang sangat kecil
(ultra small) bahkan memperlihatkan
sifat superkonduktor pada temperatur di bawah 20 K. SWCNT dan MWCNT merupakan
konduktor panas yang sangat baik sepanjang tabungnya. Sifat konduktivitas panas
yang baik sepanjang tabung ini disebabkan oleh fenomena konduksi balistik (ballistic conduction) sepanjang tabung.
CNT dapat mentransmisikan daya panas lebih besar dari 6000 WK/m pada
tempera-tur ruang, bandingkan dengan penghantar panas yang paling populer
seperti tembaga yang hanya mampu mengkonduksikan daya panas maksimal 385 WK/m.
CNT mampu stabil pada temperatur sekitar 7500C tekanan atmosfer dan
sekitar 28000C pada tekanan vakum.
4.1.2 Sifat Optik
Sifat optik CNT sangat
dipengaruhi oleh ukurannya. Lebar celah pita energi optiknya dipernga-ruhi oleh
ukuran diameternya. Makin kecil diameter CNT, makin besar lebar celah pita
energi optiknya. Hubungan kedua parameter ini ditunjukkan
pada gambar 5. Lebar celah pita energi optik ini mempengaruhi warna cahaya yang
dapat diemisi oleh CNT, baik oleh CNT yang bersifat metalik maupun CNT yang
bersifat semikonduktif (S). Gambar 4 menunjukkan warna cahaya yang diemisi oleh
CNT (bersifat metalik dan semikonduktif) pada beberapa ukuran diameternya.
Gambar 4. Hubungan
besar jari-jari CNT dengan lebar celah pita energi optiknya.
Gambar 5.
Hubungan
besar diameter CNT (CNT metalik (M) dan CNT semikonduktif (S)) dengan warna cahaya yang diemisi.
4.1.3 Sifat Kimia
Sifat reaktivitas kimia CNT juga dipengaruhi oleh
ukuran diameter tabungnya. Diameter CNT yang semakin kecil akan meningkatkan
reaktivitas kimianya karena luas permukaan spesifiknya (luas permukaan/massa)
makin membesar. Ikatan kova-len pada CNT juga dapat dimodifikasi dengan cara
mendispersi CNT pada pelarut yang sesuai.
Mengacu pada sifat-sifat di atas, selanjutnya CNT
dicoba diterapkan pada bidang farmasi yang dirancang sebagai perangkat pembawa
(carrier) berbagai jenis obat- obatan
ke dalam sel, termasuk ke dalam sel yang terserang kanker. Hal ini dimungkinkan
karena dinding tepi tabung CNT dapat difungsionalisasi, seperti misalnya,
dengan DNA, protein dan polyethylene
glycol (PEG) sehingga dan oleh karena itu dimungkin bagi CNT untuk
melintasi membran sel dengan leluasa dan tidak mengganggu kerja sel.
SWNT sulit larut di dalam air, sehingga tidak dapat
langsung digunakan sebagai pembawa. oleh karena itu diperlukan suatu modifikasi
secara ki-mia untuk meningkatkan kelarutannya. Di samping meningkatkan
kelarutannya, modifikasi kimia ter-sebut juga sekaligus memperbaiki
kebiokompatibi-litasannya dan juga meningkatkan kemampuannya untuk dapat
berpenetrasi ke dalam sel. Bentuk modifikasi dapat dilakukan dengan: (1) pemasangan
secara kovalen grup molekul kimia tertentu pada tubuh (kerangka) SWCNT melalui
reaksi konjugasi (2) membalutkan berbagai jenis molekul-molekul fungsional pada
dinding SWCNT, dan (3) mengisi molekul-molekul fungsional ke bagian dalam
tabung SWCNT.
Liang dan Chen melaporkan bahwa
dengan menggunakan molekul fungsional PEG, SWNT menjadi sangat dinamis dan oleh
karena itu dimungkinkan untuk dapat mudah melintasi membran sel dan masuk ke
dalam sitoplasma. Lebih menguntungkan lagi, ditemukan bahwa SWCNT yang
dikonjugasi dengan PEG dapat dan hanya memasuki sel-sel yang terserang kanker
Gambar 6. Polyethylene
glycol (PEG) (Liang dan Chen, 2010).
4.1.5 NANOMATERIAL DAN SEL KANKER: HYPERTHERMIA
Carbon Nano Tube
SWCNT
tidak saja berfungsi sebagai pembawa sebagaimana diterangkan di atas. Sifat SWCNT
yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada rentang panjang gelombang
dari 700-1100 nm sangat efektif digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. Di
lain pihak, sistim biologi tubuh adalah transparan pada rentang panjang
gelombang tersebut. Energi yang diserap pada rentang panjang gelombang 700-1100
nm oleh SWCNT dapat meningkatkan secara efektif sel-sel sehat tetangganya tidak
naik karena pada sel-sel tersebut tidak ditemukan SWCNT. Medium biologi sel
adalah transparan terhadap gelombang NIR. Pemanasan dengan cara ini pada
tingkat di atas batas toleransi sel menyebabkan sel-sel kanker menjadi tidak
aktif (mati), dimana prosesnya dapat secara selektif dilakukan.
Gambar 7. Potret fluoresens sel HeLa yang
terjangkit kanker (FR+) yang dihuni oleh PEG-SWCNT (a) dan potret sel normal yang tidak dihuni oleh
PEG-SWCNT (b).
4.2 NANOMATERIAL DAN DIABETES
Diabetes mellitus (atau
sering disebut diabetes) adalah suatu penyakit dimana kandungan gula (glucosa) pada cairan darah (gula darah)
meningkat melebihi batas ambang atas (hyperglyce-mia).
Peningkatan ini disebabkan oleh adanya gangguan
yang terjadi dalam proses penghantaran glucosa
ke dalam sel (Poretsky, 2010).
Penghanta-ran glukosa ke dalam sel
dimediasi oleh insulin dengan skema proses sebagaimana ditunjukkan pada gambar
8.
Diabetes
dibagi ke dalam dua tipe yang dika-rakterisasi oleh mediator insulin, yaitu:
tipe-1, diabetes yang terjadi karena gagalnya sel-β mem-produksi insulin pada
jumlah minimum yang dibu-tuhkan untuk memediasi penghantaran gula darah ke
dalam sel (skema sederhana pelepasan insulin oleh sel-β ditunjukkan pada gambar
9; tipe-2 adalah diabetes yang terjadi karena kurangnya responsivitas
reseptor insulin pada membran sel untuk merespon kehadiran insulin sebagai
mediator penghantar gula darah ke dalam sel sehingga proses penghantaran gula
darah ke dalam sel menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya
Gambar 8.
Skema
proses penghantaran glucosa (gula darah) ke dalam sel yang dimediasi oleh insulin. Pengikatan insulin oleh reseptor insulin pada
membran sel menginduksi suatu sinyal transduksi yang dapat dideteksi oleh
trans-poter glucosa (GLUT4) sehingga GLUT4 memasukkan glucosa ke dalam sel.
Gagalnya
secara wajar gula darah masuk ke dalam sel menyebabkan kandungan gula darah di
dalam cairan darah menjadi meningkat. Beberapa anjuran untuk dilakukan bagi
penderita diabetes tipe-1 untuk mengontrol kandungan gula darah di dalam carian
darahnya adalah: melakukan diet, khususnya terhadap makanan yang mengandung
banyak glucosa; melakukan latihan
fisik secara teratur, dan terapi insulin sebagai solusi kurangnya suplai
insulin oleh sel-β.
Diabetes
tipe-2 sangat dipengaruhi oleh faktor obesitas. Obesitas dapat menyebabkan
meningkat-nya resistansi reseptor insulin pada membran sel. Oleh karena itu diabetes
tipe-2 erat kaitannya dengan faktor keturunan dan budaya yang berkembang di
lingkungannya. Seseorang dapat mengalami salah satu tipe diabetes di atas dan
dapat pula mengalami sekaligus keduanya. Beberapa cara penyelesaian telah
dilakukan untuk dapat menga-tasi atau menyembuhkan penderita, namun hasil yang
diperoleh belum mencapai titik yang paling optimum. Oleh karena itu beberapa
alternatif pen-gembangan sedang diinvestigasi yang salah satunya adalah
melibatkan nanoteknologi.
Mengatasi
kekurangan insulin (diabetes tipe-1) pada penderita diabetes selama ini
dilakukan den-gan mensuplai insulin secara eksternal yang dilakukan secara oral,
suntik maupun melalui pernafasan (nasal)
Dengan teknik suntik, yang apabila
dilakukan terus menerus setiap hari, menimbulkan masalah baru terhadap luka suntik. Pada teknik oral insulin menga-lami degradasi
di dalam lambung (stomach) oleh enzim
gastric. Untuk mengatasi masalah ini
insu-lin dibalut (encapsulated)
dengan berbagai jenis polimer yang biodegradable.
Namun oleh karena ukurannya cukup besar, balutan insulin sulit me-nembus masuk
ke pembuluh darah. Pada teknik penghantaran melalui pernafasan, permasalahan
timbul dengan terjadinya penyumbatan pada paru-paru karena ukuran partikel
insulin cukup besar (Seluruh permasalahan ini menjadi tantangan saat ini dan
suatu teknik pendekatan baru harus dicari.
Gambar 9. Skema proses pelepasan insulin oleh sel-β
Tidak ada komentar:
Posting Komentar